Selasa, 22 Oktober 2013

Mengirim Kartu Pos Tetap Menjadi Favorit Para Traveller

Ilustrasi: dailymail.co.uk

London - Saat gadget dan internet belum terlalu mudah, hampir semua traveler mengirimkan kartu pos saat sedang liburan. Tapi ternyata, meski teknologi kini sudah canggih, tetap banyak traveler yang mengirim kartu pos.

Setidaknya ada 50 persen responden yang memilih menggunakan kartu pos untuk berhubungan dengan keluarga dan sahabat tersayang. Ini berdasarkan survei yang ada di Lonely Planet Traveller, Daily Mail, Senin (12/8/2013). Survei ini dilakukan kepada 1.563 responden.

Selama 3 dekade terakhir di abad ke-20, kartu pos jadi benda paling populer yang dikirimkan traveler saat sedang liburan. Kartu pos jadi salah satu alat komunikasi, setelah telepon. Meski lebih lamban sampai daripada telepon, ada esensi tersendiri yang tersampaikan saat mengirim kartu pos ke rumah keluarga atau sahabat.

Kartu pos berhasil mengalahkan email dan sosial media untuk menyampaikan kerinduan dan berbagi kebahagiaan para traveler. Untuk memudahkan, sudah banyak kartu pos elektronik yang bisa dibeli atau diunduh yang kemudian dikirim melalui email.

Hal termudah kedua adalah mengirimkan foto atau video yang kemudian diunggah melalui sosial media. Teryata, tidak semua hal mudah bisa menarik perhatian para traveler. Tulisan tangan di kertas yang terbatas membuat pesan lebih berharga dari surat elektronik atau kiriman foto di internet.


Artikel diatas diambil dari salah satu tulisan di detikTravel dan itu mengingatkan saya ketika jalan-jalan ke Jogjakarta lebaran kemarin. Pengalaman serupa saya tangkap ketika berada di keraton Jogjakarta. Hari itu adalah Senin pagi saat saya berkunjung kesana. Saya melihat pemandangan sebuah kantor pos mini yang buka tepat disamping loket pembelian tiket masuk. Saya lihat beberapa turis bule sedang asik menulis kata-kata di kartu pos, untuk mungkin dikirimkan kepada saudara/keluarga/sahabat di negara asalnya. Fasilitas kantor pos di keraton ini sangat saya apresiasi. Di tengah menjamurnya teknologi canggih seperti twitter, facebook, email dan lainnya, kehadiran kartu pos ini tidak lekang oleh jaman. Selalu diminati oleh para turis. Tulisan tangan diatas selembar kartu pos, akan menjadi sebuah bukti kenangan yang tetap abadi. Kalau sebuah tweet dapat hilang dan dilupakan di 10 tahun yang akan datang, tapi bukti fisik sebuah kartu pos, akan menjadi saksi dan kenangan yang nantinya bisa diceritakan ke anak cucu. Ditambah lagi, apabila di kartu pos tersebut dilengkapi cover foto yang menggambarkan tempat, waktu, atau suasana dari kota yang didatangi saat itu, pastinya akan menjadi history tersendiri nantinya. Dan menurut saya akan lebih bagus lagi kalau di kartu posnya diberi aroma rempah atau wangi-wangian daerah setempat. Jadi si penerima kartu pos bukan hanya disenangkan secara visual oleh tulisan tangan pengirim, tapi juga akan dimanjakan indra penciumannya. Sensasi wewangian ketika mencium aroma dari kartu pos, bakal menimbulkan imajinasi akan keunikan dan keindahan tempat yang dikunjungi oleh si pengirim. Saya ingin melakukannya suatu saat, ketika liburan mendatang tiba. Semoga saja bisa terlaksana.

Cheers,

Nita

Jumat, 18 Oktober 2013

Depok Journey: Menginap di Rumah Rachel

13 Oktober 2013, Sabtu pagi itu aku bersiap-siap menyiapkan barang bawaan karena akan berangkat ke rumah temanku, Rachel yang ada di Depok. Disana rencananya aku akan menginap semalam, dan pulang di hari Minggu keesokan harinya. Moment ini adalah moment yang sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Semenjak temanku pindah rumah, baru kali ini aku akan mengunjungi rumah barunya. Moment ini juga tepat karena hari Seninnya Rachel mendapat libur dari kampusnya di Bandung, sehubungan dengan adanya cuti bersama hari raya Idul Adha. Aku pun beruntung juga karena mendapatkan libur di hari Seninnya. Semua karyawan di kantorku diliburkan karena tidak adanya kegiatan perbankan sama sekali di hari Senin, karena semua karyawan bank juga sedang cuti bersama. What a looong holiday! From Saturday to Tuesday. Perfect moment to stay overnight, right? Oh ya, kawanku di kantorpun sedang liburan bersama ke Bandung lho. Mereka berangkat dari mulai Jumat malam, sepulang kerja dan akan kembali di hari Minggunya.

Aku berangkat dari rumah sekitar pukul setengah 11 siang. Aku berangkat dengan membawa gembolan sebuah tas ransel dan sebuah tas belanjaan yang berisi bahan-bahan masakan. Yap, aku akan memasak bareng di rumah temanku itu. Untuk planning kegiatan disana aku pun sudah me-listnya jauh-jauh hari. Berikut barang-barang apa yang harus dibawa agar tidak ada yang tertinggal nanti.

Berikut list kegiatan holiday aku bersama Rachel selama di Depok:
1.       Membuat kentang goreng,
2.       Membuat pancake coklat,
3.       Nonton dvd CNBLUE + F4
4.       Dongengin Lina (adik Rachel yang paling bungsu)
5.       Maskeran bareng
6.       Jalan-jalan keliling UI
7.       Dan pastinya ngobrol-ngobrol sampe malem

Aku pun sampai di stasiun Depok Baru sekitar pukul 1 siang. Aku dijemput oleh Rachel dan Michael (adik Rachel) disana. Dari situ kami naik angkot D01, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki masuk ke gang menuju rumah Rachel berada. Lokasi rumah Rachel cukup dekat dari stasiun Depok Baru, sehingga memudahkanku kalau kapan-kapan ingin berkunjung lagi ke rumahnya. Setelah sampai di rumah Rachel, aku segera memberi salam ke mamanya dan langsung menaruh tas gembolanku di kamar. Aku pun memberi sedikit oleh-oleh dari Jogja kemarin berupa gantungan kunci untuk Rachel, Michael, dan Lina. Aku harap mereka juga bisa kesana suatu hari nanti.

 Suasana Stasiun Depok Baru

Setelah itu langsung tiada hentinya kami mengobrol, saling menanyakan kabar masing-masing. Sembari makan siang, kami ngobrol banyak. Waktu seakan kembali seperti saat dulu mereka masih tinggal di Tambun. Hujan pun mendera sore harinya. Sampai malam, hujan pun terus turun tiada henti. Kami tidak bisa jalan kemana-mana. Tapi enaknya kami jadi bener-bener ngabisin waktu bersama di rumah Rachel dan merasakan quality time yang maksimal. Kami membuat pancake dan malamnya mama Rachel membuat nasi tim yang enak sekali. Ini baru pertama kalinya aku membuat pancake. Rachel yang sering membuat pancake. Makanya aku rencanakan untuk membuatnya sekalian bisa belajar dari Rachel. Adonan pancake pun dibuat oleh Rachel dengan sabar. Moral pelajaran yang kudapat dari masak bareng temanku itu adalah memang yang namanya masak mesti sabar. Setelah adonan pancake jadi, adonan tersebut untuk sementara dimasukkan ke dalam kulkas dulu, karena dapurnya mau digunakan oleh mba yang bekerja di rumah Rachel. Mba nya mau menyiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi tim. Aku pun pergi mandi, dan sore hari menjelang malam itu, kami lanjut ngobrol-ngobrol lagi.

Ornamen meja di rumah Rachel ini terlihat sangat jeruk.

Setelah menikmati makan malam nasi tim yang sangat enak itu, kami pun melanjutkan membuat pancakenya. Pancake pun digoreng dan awalnya aku pun sangat kikuk menggorengnya. Untungnya ada mba yang baik hati mau membantu. Mba itu pun yang memberi tau aku resep menge-tim coklat masaknya. Agar coklat masak itu tidak cepat mengeras lagi, sebaiknya diberi sedikit mentega ketika menge-tim coklatnya. Dan benar saja, coklatnya pun jadi tidak cepat mengeras. Mba itu ternyata pernah berpengalaman membantu tetangganya membuat kue-kue pesanan, sehingga dia mendapatkan banyak ilmu dari sana. Beliau belajar membuat kue secara otodidak dengan memperhatikan secara langsung ketika bekerja disitu. Dan tentunya juga tidak lupa untuk langsung dipraktekkan. “Awalnya tidak berhasil”, cerita mbanya. “Tapi dicoba lagi dan lagi sampai berhasil!” Aku pun belajar dari cerita pengalaman beliau. 

 Adonan pancake yang siap digoreng.

 Pancake dengan saus coklat siap disantap.

 Yummy..!! ^^

Lanjut lagi mengenai pancake, aku pun tidak mau menyerah membuat pancake yang bagus. Di hasil gorengan yang berikutnya, bentuk pancake ku pun semakin membaik. Dan anak-anak juga menyukai rasanya. Pengalaman ini pun menjadi pelajaran yang berharga bagiku. Setelah kenyang makan pancake, kami pun menyetel dvd. Dvd F4 yang kuminta diputar duluan. Hahaha.. Jelas saja, Rachel dan Michael langsung geleng-geleng kepala. Aku pun karaokean sendiri dengan suara yang ga jelas sambil mengingat memori masa lalu. Mereka berdua yang tidak suka sama lagu mandarin dan gag ngerti sama lagunya, akhirnya ngetawain aku abis-abisan. “Kenapa rambutnya gondrong-gondrong gitu sih miss?”, kata Michael. Aku bilang ajah, “Rambut gondrong gitu dulu ngtrend tau! F4 tuh dulu fans nya banyak. Pas konser F4 tuh juga rame banget penontonnya”, kataku. Aku dan anak-anak saling bercandain dengan memegang boneka hello kitty koleksi Lina. Aku mengisi suara Kitty menyanyikan lagu-lagu F4. Lalu boneka lain yang dipegang oleh Rachel dan Michael pun saling memberi komentar. Suasana kamar penuh dengan gelak tawa. Dilanjutkan setelah itu dengan memutar dvd CN Blue bertajuk “konser Blue Storm di Korea”. Kali ini Rachel juga menyukainya. Kami berdua adalah fans CN Blue, sementara tetap bukan kesukaan Michael. Ia adalah anak yang lebih tertarik kepada anime dan musik J-pop

Setelah selesai nyetel dvd, lanjut aku membuat kentang goreng, sementara Rachel yang membereskan kamar untuk kami tidur nanti. Michael membantuku di dapur. Dan saat menggoreng kentangnya yang agak lumayan lama. Hal itu membuat aku galau, karena si kentang tetap lembek saat digoreng. Sembari aku membuat kentang goreng, terdengah suara riuh orang sedang menonton pertandingan bola. Teriakan Gol pun terdengar nyaring. Indonesia berhasil membobol gawang Korea Selatan. Sampai akhirnya aku pun diberi tau Michael bahwa Indonesia berhasil mengalahkan Korea Selatan dengan skor 3-2. Mantap tim U-19! Secara Korea Selatan itu kan sering juara Piala Asia. Kalau Indonesia bisa menang melawan mereka, berarti tidak mustahil kalau nanti mereka bisa sampai ke final Piala Asia atau bahkan menjadi juara Piala Asia. Bangga deh sama Evan Dimas dan tim buat kerja samanya yang kompak, serta pelatih yang telah berhasil membuat mereka menjadi tim yang bisa membanggakan Indonesia. Two thumbs up!

Kembali ke cerita kentang goreng, akhirnya setelah penantian cukup lama, si kentang pun berubah kecoklatan dan siap dihidangkan. Saat itu sudah sekitar pukul 11 malam. Aku, Rachel dan Michael menikmati kentang goreng di beranda, di rumahnya yang di lantai dua itu. Di tengah suasana malam yang habis diguyur hujan, membuat malam itu begitu tenang, dan sedikit dingin. Setelah dirasakan, ternyata kentang goreng buatanku keasinan kawan. “Wah, Miss pengen kawin ya”, canda mereka. Hehehe.. Karena katanya kalau orang masak tapi keasinan artinya pengen cepet kawin. Hahaha..  Tapi untunglah anak-anak tetap bisa menikmati kentang gorengku dan kami pun ngobrol ngalor-ngidul sembari menghabiskannya.

 Kentang goreng keasinan buatanku. :p

Setelah itu kami kembali ke kamar. Kami ngobrol-ngobrol sambil tiduran dan nonton tv di kamar. Lina sudah tidur sejak tadi. Rencana mendongeng untuk Lina sebelum ia tidur, jadi mesti ditunda keesokan harinya. Akhirnya aku mendongeng sebuah cerita yang berjudul “Balas Budi Burung Bangau” untuk Rachel dan Michael saja. Rupanya Michael sudah pernah membaca cerita tersebut di buku pelajaran B. Indonesianya. Michael memang anak yang suka membaca cerita. Walaupun Michael sudah tau jalan ceritanya, tapi ia pun tetap mau mendengar ceritaku. Aku disuruh tetep bercerita ujar Michael. Aku mengambil cerita tersebut dari mbah Gugel, aku print dan baru aku baca saat aku membacakannya untuk anak-anak. Hehe.. Aku bukan pendongeng yang pandai, tapi aku suka melakukannya. Aku jadi ingat diwaktu kecil, aku pun suka sekali mendengarkan om ku atau nenekku kalau mereka sedang bercerita kepadaku. Aku pun ingin anak-anak tidak kehilangan perasaan itu. Mendongeng menurutku amat baik untuk dilakukan, karena akan membuat mereka bisa kreatif berimajinasi dan tentunya menambah kedekatan secara emosional kepada anak-anak. Setelah selesai bercerita, aku dan Rachel ngobrolin tentang banyak hal. Salah satunya tentang sifat kami yang sama-sama introvert. Kami bisa nyambung ngobrol mungkin karena sama-sama orang introvert. Orang introvert itu bukan orang yang mudah dimengerti. Kami bukan orang yang pandai bersosialisasi dan pandai bicara. Tapi sekalinya sudah membahas hal yang kami sukai, kami akan betah bicara sampai berjam-jam. Setelah ngobrol kesana kemari, aku pun mengantuk. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Dan kami pun memutuskan untuk tidur.

Besok paginya, sekitar pukul 6 seprapat, aku pun terbangun. Aku pergi mandi dan sarapan. Anak-anak pun begitu. Aku sempat mendongengkan untuk Lina cerita burung bangau yang sempat tertunda semalam. Dan Lina pun menyukainya. Setelah kami semua rapi, kami pergi ke loteng lantai atas untuk foto-foto sebentar. Kami mengambil beberapa foto diatas sana, dan sekalian mencoba gaya levitasi.

 Michael yang malang, bahkan kakaknya pun ogah memegangnya. Hahaha...

 Agak-agak levitasi part 1.

 Flying scene, I like it!

Sekitar pukul 9 pagi, aku, Rachel, Michael, dan Lina berangkat menuju stasiun untuk berkeliling melihat lingkungan UI. Kami pergi naik kereta dari stasiun depok baru. Sampai di stasiun UI, aku melihat pemandangan orang yang sedang berjalan-jalan dengan kendaraan bermotor ataupun sepeda. Kami pergi ke area pocin di belakang stasiun. Sudah sekitar 3 tahun aku tidak kesana. Aku bertanya kepada penjual buku-buku disana apakah mereka menjual kamus Rusia-Indonesia. Rachel yang sedang belajar sastra Rusia di UNPAD, mungkin bisa menemukan kamusnya disana. Tapi ternyata mereka tidak memilikinya. Setelah itu, kami kembali ke stasiun UI untuk mengeksplor kawasan kampus bergengsi itu. Aku bertanya ke seorang mba disana, yang kemungkinan anak UI, mengenai cara untuk ke danau UI dan jembatan Texas. Karena hari ini hari Minggu, maka tidak ada transportasi bikun (bis kuning) yang bisa mengantar kami berkeliling. Kalau mau naik ojek kata mba itu. Tentu itu bukanlah opsi yang bisa kami ambil. Lantas aku menanyakan mba itu, kalau kami berjalan kaki apakah jauh. Mba itu berkata tidak terlalu jauh kalau mau ke danau. Tinggal lurus saja mengikuti jalan. Dan kami pun memutuskan untuk berjalan kaki menuju danau.

 Atas: Foto-foto aku di rumah Rachel sebelum berangkat.
Bawah: Foto-foto sesampainya kita di kawasan UI, menuju danau.

 Di dalam kereta menuju stasiun UI.

 Lina yang kelak ingin belajar hukum.
Semoga ini bisa menjadi kenyataan di masa depan. Amin.

Di tengah perjalanan menuju danau, kami mampir ke alfamart yang ada di kawasan UI. Kami membeli air minum untuk persediaan, sedikit snack dan aku juga membeli susu coklat. Setelah berjalan sekitar 10 menit akhirnya kami melihat danau yang kami incar. Kami berfoto di sekitaran danau. Banyak orang yang sedang duduk-duduk disana. Ada juga yang sedang memancing. Keluarga yang sedang bersantai, orang-orang yang sedang olahraga, mahasiswa juga ada yang melakukan aktivitas disana. Cukup ramai suasana di hari Minggu itu. Karena kawasan UI memang terbuka untuk umum. Kami juga melihat adanya sebuah gedung kaca yang sangat indah. Ada starbucks, dan toko buku didalamnya. Rupanya setelah bertanya kepada satpam, gedung itu adalah gedung perpustakaan UI. Masyarakat umum pun diperbolehkan untuk masuk. Kami yang tidak berencana sama sekali untuk kesana, jadi terpesona dan terpikat untuk mengeksplor isi dalamnya. Kami dikenakan tarif Rp 5000 per orang untuk bisa masuk ke gedung yang megah itu. Sebagai peraturan untuk umum, petugas memberi tau kami bahwa kami diperbolehkan membaca di tempat serta disediakan juga fasilitas kalau ada yg mau difotokopi. Tapi kami tidak diperbolehkan untuk meminjam buku. Saat ingin menitipkan barang, ada kejadian yang sedikit memalukan. Kami diminta untuk menyerahkan identitas diri untuk ditukar dengan kunci loker. Tapi dari kami semua, tidak ada satupun yang membawa. Karena baik dompetku dan Rachel sama-sama ditinggal dirumah, dan yang kami bawa hanya uang dan ponsel. Untungnya bapaknya baik, jadi kami diberikan kunci lokernya cuma cuma. Kami segera menuju ke loker untuk menaruh belanjaan kami tadi. 

 Suasana danau UI yang tenang.

 NarSizz..

 Keluarga pun bisa turut bersantai di danau ini.

 Kucing UI yang sedang menunggu jam masuk kuliah. :D

Photo-photo diluar gedung perpustakaan UI

Banyak mahasiswa yang sedang sibuk mencari buku-buku referensi, dan asyik membaca disana. Tempat duduk yang disediakan untuk membaca disana, terasa nyaman sekali. Setelah asyik berkeliling sampai lantai paling atas, dan tentunya foto-foto, kami pun kembali ke lantai 2 untuk mencari buku yang menarik untuk dibaca. Rachel pun menemukan buku tentang sejarah Rusia lalu ia asyik sendiri membaca buku itu di pojokan. Aku menemani Lina berkeliling mencari buku cerita yang sedang diincarnya. Kami menghabiskan waktu di perpustakaan sampai sekitar pukul 12 siang. 

 Memasuki gedung perpustakaan UI, kita disambut oleh benda besar yang seperti tumpukan batu ini.

 Inilah ukiran yang menyambut kami saat memasuki perpus UI.
Semua kata diatas artinya "BACA", cuma ditulis dalam berbagai macam bahasa.
Menurut Rachel, kata yang dilingkarin itu diambil dari bahasa Rusia, yang bunyinya kurang lebih "Citat".
 
 NarSizz.. part 2

 Lina yang tengah mencari buku ceritanya di komputer.
Rata-rata komputer untuk pencarian data di perpus UI ini menggunakan produk keluaran buah itu. Mantaps!

 Love this pic.. !! ^^

 Dimana.. Dimana.. Dimana..??

 Rachel sedang serius membaca buku mengenai sejarah Rusia.

Menjajal foto jam tanganku untuk memberi tau Michael tentang macro photo shoot.

Best angle of Rachel..

 Beginilah kira-kira suasana di lantai atas gedung perpus UI.

Wow, arsitektur gedung yang mengagumkan!

Setelah itu kami berfoto-foto di taman yang ada di kawasan UI, untuk mencoba gaya levitasi. Disana kulihat beberapa komunitas anak muda yang sedang melakukan aktivitas seperti parkour contohnya. Setelah itu kami berkeliling mencari jembatan Texas. Sebenarnya aku sudah sangat malas jalan ke sana, karena sudah capek. Tapi Michael ingin sekali ke jembatan itu. Akhirnya aku bertanya ke seorang mba tentang cara menuju ke jembatan Texas. Dan kebetulan sekali, mba tersebut juga mau ke arah sana. Jadilah kami kesana bersama mba tersebut, yang ternyata adalah mahasiswa UI. Setelah sampai disana, kami segera berfoto-foto dan menikmati keindahan jembatan tersebut. Angin semilir dan udara yang sejuk menghapus lelah kami. Di jembatan itu kulihat beberapa orang yang lewat pun juga ikut mengambil foto. Waktu kira-kira sudah menunjukkan setengah 2 siang. Saatnya kami untuk pulang. Kami berjalan kembali menuju stasiun UI yang cukup jauh itu. Di tengah terik sinar matahari dan kaki yang sudah kelelahan, kami berjalan pulang. Kami kembali melewati alfamart dan mampir kesana sebentar untuk membeli minuman. Setelah sampai di stasiun UI, kami segera mengantri tiket lalu pulang menuju stasiun Depok Baru.

 Nyobain foto makro lagi, kali ini sasarannya bunga cantik di taman UI.

 
Agak-agak levitasi part 2.


Jembatan Texas kampus UI

Jembatan ini juga pernah dipakai syuting Cakra Khan lho..

#Ku berlari kau terdiam..#
#Ku menangis kau tersenyum..#
*galau mode on.

Happy moment..!!

Sesampainya di rumah, kami semua kecapekan. Lina dan Michael langsung di tepar di kamar. Rachel dan aku blututan foto di ruang tengah. Aku pun makan siang karena perutku sudah keroncongan. Setelahnya kami menghabiskan waktu di kamar saja. Aku dan mama Rachel nonton tv bareng di kamar, sementara Rachel juga sudah tertidur pulas karena kecapean. Hari ini benar-benar membalas hari kemarin yang seharian terperangkap di rumah karena hujan. Kami semua bener-bener bertualang sampai kaki kami pegal. Hehe.. Mengeksplorasi tempat baru dan berbagi pengalaman bersama. Sungguh amat berkesan dan menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Tak terasa hari sudah menunjukkan pukul 5 sore. Saatnya aku pulang, agar tidak kemalaman sampai di Tambun. Aku pun berpamitan kepada mama Rachel dan mengucapkan terima kasih. Rachel dan anak-anak yang baru bangun tidur jadi agak terkejut karena tau tau aku mau pulang saja. Waktu seakan cepat sekali berputar. Acara maskeran pun ditunda kapan-kapan, karena waktunya yang tidak sempat. Aku sangat kangen untuk bermain bersama mereka lagi, dan bisa ngobrol panjang lebar. Mamanya bilang aku disuruh main kesana kalau ada libur panjang lagi. Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku pun segera menuju stasiun depok baru, kemudian naik kereta yang menuju Bekasi. Dari stasiun depok baru, kereta sudah penuh sesak oleh orang-orang. Tapi untungnya aku masih bisa mendapat tempat duduk, sehingga bisa sambil tiduran di kereta. Aku transit di stasiun Manggarai, kemudian ganti kereta yang menuju Bekasi. Suasana di kereta yang menuju Bekasi saat itu cukup lengang. Aku sampai di stasiun Bekasi sekitar pukul 7 lewat seprapat. Dan akhirnya sampai di rumah sekitar pukul 8 malam. Aku sangat menantikan ada liburan selanjutnya supaya bisa main bareng sama mereka lagi. Miss you guys.. :)
 
Cheers,

Nita

Rabu, 16 Oktober 2013

Maybe I am an introvert, but I'm still God's Beloved

I prefer to spend a lot of my time in front of tv since I was child. I am not really like to join an organization club at my school. I prefer spend my day at home, watching tv or do some stuff I like. And now I've already drown into the working world and face the real society. Firstly when I am working, I feel a little bit hard to adapt in new place. I am not some typical who can change other people's mind, and make them follow my opinion. I also feel as a thinker, than a doer. That's my lack that should be change. To be a doer, and not just a thinker. And I wanna share some of my googling search about the introvert.

 Susan Cain spoke in TED Conference on February 2012 about "The Power of Introvert"

The translation:
When I was nine years old I went off to summer camp for the first time. And my mother packed me a suitcase full of books, which to me seemed like a perfectly natural thing to do. Because in my family, reading was the primary group activity. And this might sound antisocial to you, but for us it was really just a different way of being social. You have the animal warmth of your family sitting right next to you, but you are also free to go roaming around the adventureland inside your own mind. And I had this idea that camp was going to be just like this, but better. (Laughter) I had a vision of 10 girls sitting in a cabin cozily reading books in their matching nightgowns.
(Laughter)

Camp was more like a keg party without any alcohol. And on the very first day our counselor gathered us all together and she taught us a cheer that she said we would be doing every day for the rest of the summer to instill camp spirit. And it went like this: “R-O-W-D-I-E, that’s the way we spell rowdie. Rowdie, rowdie, let’s get rowdie.” Yeah. So I couldn’t figure out for the life of me why we were supposed to be so rowdy, or why we had to spell this word incorrectly. (Laughter) But I recited a cheer. I recited a cheer along with everybody else. I did my best. And I just waited for the time that I could go off and read my books.

But the first time that I took my book out of my suitcase, the coolest girl in the bunk came up to me and she asked me, “Why are you being so mellow?” — mellow, of course, being the exact opposite of R-O-W-D-I-E. And then the second time I tried it, the counselor came up to me with a concerned expression on her face and she repeated the point about camp spirit and said we should all work very hard to be outgoing.

And so I put my books away, back in their suitcase, and I put them under my bed, and there they stayed for the rest of the summer. And I felt kind of guilty about this. I felt as if the books needed me somehow, and they were calling out to me and I was forsaking them. But I did forsake them and I didn’t open that suitcase again until I was back home with my family at the end of the summer.

Now, I tell you this story about summer camp. I could have told you 50 others just like it — all the times that I got the message that somehow my quiet and introverted style of being was not necessarily the right way to go, that I should be trying to pass as more of an extrovert. And I always sensed deep down that this was wrong and that introverts were pretty excellent just as they were. But for years I denied this intuition, and so I became a Wall Street lawyer, of all things, instead of the writer that I had always longed to be — partly because I needed to prove to myself that I could be bold and assertive too. And I was always going off to crowded bars when I really would have preferred to just have a nice dinner with friends. And I made these self-negating choices so reflexively, that I wasn’t even aware that I was making them.

Now this is what many introverts do, and it’s our loss for sure, but it is also our colleagues’ loss and our communities’ loss. And at the risk of sounding grandiose, it is the world’s loss. Because when it comes to creativity and to leadership, we need introverts doing what they do best. A third to a half of the population are introverts — a third to a half. So that’s one out of every two or three people you know. So even if you’re an extrovert yourself, I’m talking about your coworkers and your spouses and your children and the person sitting next to you right now — all of them subject to this bias that is pretty deep and real in our society. We all internalize it from a very early age without even having a language for what we’re doing.

Now to see the bias clearly you need to understand what introversion is. It’s different from being shy. Shyness is about fear of social judgment. Introversion is more about, how do you respond to stimulation, including social stimulation. So extroverts really crave large amounts of stimulation, whereas introverts feel at their most alive and their most switched-on and their most capable when they’re in quieter, more low-key environments. Not all the time — these things aren’t absolute — but a lot of the time. So the key then to maximizing our talents is for us all to put ourselves in the zone of stimulation that is right for us.

But now here’s where the bias comes in. Our most important institutions, our schools and our workplaces, they are designed mostly for extroverts and for extroverts’ need for lots of stimulation. And also we have this belief system right now that I call the new groupthink, which holds that all creativity and all productivity comes from a very oddly gregarious place.

So if you picture the typical classroom nowadays: When I was going to school, we sat in rows. We sat in rows of desks like this, and we did most of our work pretty autonomously. But nowadays, your typical classroom has pods of desks — four or five or six or seven kids all facing each other. And kids are working in countless group assignments. Even in subjects like math and creative writing, which you think would depend on solo flights of thought, kids are now expected to act as committee members. And for the kids who prefer to go off by themselves or just to work alone, those kids are seen as outliers often or, worse, as problem cases. And the vast majority of teachers reports believing that the ideal student is an extrovert as opposed to an introvert, even though introverts actually get better grades and are more knowledgeable, according to research. (Laughter)

Okay, same thing is true in our workplaces. Now, most of us work in open plan offices, without walls, where we are subject to the constant noise and gaze of our coworkers. And when it comes to leadership, introverts are routinely passed over for leadership positions, even though introverts tend to be very careful, much less likely to take outsize risks — which is something we might all favor nowadays. And interesting research by Adam Grant at the Wharton School has found that introverted leaders often deliver better outcomes than extroverts do, because when they are managing proactive employees, they’re much more likely to let those employees run with their ideas, whereas an extrovert can, quite unwittingly, get so excited about things that they’re putting their own stamp on things, and other people’s ideas might not as easily then bubble up to the surface.

Now in fact, some of our transformative leaders in history have been introverts. I’ll give you some examples. Eleanor Roosevelt, Rosa Parks, Gandhi — all these peopled described themselves as quiet and soft-spoken and even shy. And they all took the spotlight, even though every bone in their bodies was telling them not to. And this turns out to have a special power all its own, because people could feel that these leaders were at the helm, not because they enjoyed directing others and not out of the pleasure of being looked at; they were there because they had no choice, because they were driven to do what they thought was right.
Now I think at this point it’s important for me to say that I actually love extroverts. I always like to say some of my best friends are extroverts, including my beloved husband. And we all fall at different points, of course, along the introvert/extrovert spectrum. Even Carl Jung, the psychologist who first popularized these terms, said that there’s no such thing as a pure introvert or a pure extrovert. He said that such a man would be in a lunatic asylum, if he existed at all. And some people fall smack in the middle of the introvert/extrovert spectrum, and we call these people ambiverts. And I often think that they have the best of all worlds. But many of us do recognize ourselves as one type or the other.

And what I’m saying is that culturally we need a much better balance. We need more of a yin and yang between these two types. This is especially important when it comes to creativity and to productivity, because when psychologists look at the lives of the most creative people, what they find are people who are very good at exchanging ideas and advancing ideas, but who also have a serious streak of introversion in them.

And this is because solitude is a crucial ingredient often to creativity. So Darwin, he took long walks alone in the woods and emphatically turned down dinner party invitations. Theodor Geisel, better known as Dr. Seuss, he dreamed up many of his amazing creations in a lonely bell tower office that he had in the back of his house in La Jolla, California. And he was actually afraid to meet the young children who read his books for fear that they were expecting him this kind of jolly Santa Claus-like figure and would be disappointed with his more reserved persona. Steve Wozniak invented the first Apple computer sitting alone in his cubical in Hewlett-Packard where he was working at the time. And he says that he never would have become such an expert in the first place had he not been too introverted to leave the house when he was growing up.

Now of course, this does not mean that we should all stop collaborating — and case in point, is Steve Wozniak famously coming together with Steve Jobs to start Apple Computer — but it does mean that solitude matters and that for some people it is the air that they breathe. And in fact, we have known for centuries about the transcendent power of solitude. It’s only recently that we’ve strangely begun to forget it. If you look at most of the world’s major religions, you will find seekers — Moses, Jesus, Buddha, Muhammad — seekers who are going off by themselves alone to the wilderness where they then have profound epiphanies and revelations that they then bring back to the rest of the community. So no wilderness, no revelations.

This is no surprise though if you look at the insights of contemporary psychology. It turns out that we can’t even be in a group of people without instinctively mirroring, mimicking their opinions. Even about seemingly personal and visceral things like who you’re attracted to, you will start aping the beliefs of the people around you without even realizing that that’s what you’re doing.

And groups famously follow the opinions of the most dominant or charismatic person in the room, even though there’s zero correlation between being the best talker and having the best ideas — I mean zero. So … (Laughter) You might be following the person with the best ideas, but you might not. And do you really want to leave it up to chance? Much better for everybody to go off by themselves, generate their own ideas freed from the distortions of group dynamics, and then come together as a team to talk them through in a well-managed environment and take it from there.

Now if all this is true, then why are we getting it so wrong? Why are we setting up our schools this way and our workplaces? And why are we making these introverts feel so guilty about wanting to just go off by themselves some of the time? One answer lies deep in our cultural history. Western societies, and in particular the U.S., have always favored the man of action over the man of contemplation and “man” of contemplation. But in America’s early days, we lived in what historians call a culture of character, where we still, at that point, valued people for their inner selves and their moral rectitude. And if you look at the self-help books from this era, they all had titles with things like “Character, the Grandest Thing in the World.” And they featured role models like Abraham Lincoln who was praised for being modest and unassuming. Ralph Waldo Emerson called him “A man who does not offend by superiority.”

But then we hit the 20th century and we entered a new culture that historians call the culture of personality.
What happened is we had evolved an agricultural economy to a world of big business. And so suddenly people are moving from small towns to the cities. And instead of working alongside people they’ve known all their lives, now they are having to prove themselves in a crowd of strangers. So, quite understandably, qualities like magnetism and charisma suddenly come to seem really important. And sure enough, the self-help books change to meet these new needs and they start to have names like “How to Win Friends and Influence People.” And they feature as their role models really great salesmen. So that’s the world we’re living in today. That’s our cultural inheritance.

Now none of this is to say that social skills are unimportant, and I’m also not calling for the abolishing of teamwork at all. The same religions who send their sages off to lonely mountain tops also teach us love and trust. And the problems that we are facing today in fields like science and in economics are so vast and so complex that we are going to need armies of people coming together to solve them working together. But I am saying that the more freedom that we give introverts to be themselves, the more likely that they are to come up with their own unique solutions to these problems.

So now I’d like to share with you what’s in my suitcase today. Guess what? Books. I have a suitcase full of books. Here’s Margaret Atwood, “Cat’s Eye.” Here’s a novel by Milan Kundera. And here’s “The Guide for the Perplexed” by Maimonides. But these are not exactly my books. I brought these books with me because they were written by my grandfather’s favorite authors.

My grandfather was a rabbi and he was a widower who lived alone in a small apartment in Brooklyn that was my favorite place in the world when I was growing up, partly because it was filled with his very gentle, very courtly presence and partly because it was filled with books. I mean literally every table, every chair in this apartment had yielded its original function to now serve as a surface for swaying stacks of books. Just like the rest of my family, my grandfather’s favorite thing to do in the whole world was to read.

But he also loved his congregation, and you could feel this love in the sermons that he gave every week for the 62 years that he was a rabbi. He would takes the fruits of each week’s reading and he would weave these intricate tapestries of ancient and humanist thought. And people would come from all over to hear him speak.

But here’s the thing about my grandfather. Underneath this ceremonial role, he was really modest and really introverted — so much so that when he delivered these sermons, he had trouble making eye contact with the very same congregation that he had been speaking to for 62 years. And even away from the podium, when you called him to say hello, he would often end the conversation prematurely for fear that he was taking up too much of your time. But when he died at the age of 94, the police had to close down the streets of his neighborhood to accommodate the crowd of people who came out to mourn him. And so these days I try to learn from my grandfather’s example in my own way.

So I just published a book about introversion, and it took me about seven years to write. And for me, that seven years was like total bliss, because I was reading, I was writing, I was thinking, I was researching. It was my version of my grandfather’s hours of the day alone in his library. But now all of a sudden my job is very different, and my job is to be out here talking about it, talking about introversion. (Laughter) And that’s a lot harder for me, because as honored as I am to be here with all of you right now, this is not my natural milieu.

So I prepared for moments like these as best I could. I spent the last year practicing public speaking every chance I could get. And I call this my “year of speaking dangerously.” (Laughter) And that actually helped a lot. But I’ll tell you, what helps even more is my sense, my belief, my hope that when it comes to our attitudes to introversion and to quiet and to solitude, we truly are poised on the brink on dramatic change. I mean, we are. And so I am going to leave you now with three calls for action for those who share this vision.

Number one: Stop the madness for constant group work. Just stop it. (Laughter) Thank you. (Applause) And I want to be clear about what I’m saying, because I deeply believe our offices should be encouraging casual, chatty cafe-style types of interactions — you know, the kind where people come together and serendipitously have an exchange of ideas. That is great. It’s great for introverts and it’s great for extroverts. But we need much more privacy and much more freedom and much more autonomy at work. School, same thing. We need to be teaching kids to work together, for sure, but we also need to be teaching them how to work on their own. This is especially important for extroverted children too. They need to work on their own because that is where deep thought comes from in part.

Okay, number two: Go to the wilderness. Be like Buddha, have your own revelations. I’m not saying that we all have to now go off and build our own cabins in the woods and never talk to each other again, but I am saying that we could all stand to unplug and get inside our own heads a little more often.

Number three: Take a good look at what’s inside your own suitcase and why you put it there. So extroverts, maybe your suitcases are also full of books. Or maybe they’re full of champagne glasses or skydiving equipment. Whatever it is, I hope you take these things out every chance you get and grace us with your energy and your joy. But introverts, you being you, you probably have the impulse to guard very carefully what’s inside your own suitcase. And that’s okay. But occasionally, just occasionally, I hope you will open up your suitcases for other people to see, because the world needs you and it needs the things you carry.

So I wish you the best of all possible journeys and the courage to speak softly.
Thank you very much.
Source: here

She also wrote a book titled Quiet: The Power of Introverts in a World that Can’t Stop Talking

And I'll give you some additional to make you know more about introversion.


10 Mitos Tentang Orang Introvert (Copy Paste)
Introvert adalah orang yang berorientasi ke ‘dalam’ diri mereka sendiri (inward thinking). Mereka tertarik pada dunia ide, pemikiran, dan konsep sehingga orang-orang introvert sangat menyukai suasana tenang untuk menyendiri untuk berpikir ataupun beraktivitas. Sumber energi mental mereka berasal dari proses ‘menyendiri’ ini sehingga bagi orang yang tidak mengerti, orang introvert terkadang disalah artikan sebagai pribadi yang anti sosial dan tertutup. Ketika orang introvert bersosialisasi dengan banyak orang, maka ‘stock’ energi mental mereka perlahan-lahan akan berkurang dan ketika itu terjadi, maka mereka akan ‘mengisi ulang’ dirinya dengan menyendiri. Banyak pemikir, seniman atau orang—orang hebat yang merupakan orang introvert. Nama-nama seperti Albert Einstein, Abraham Lincoln, Steven Spielberg, sampai businessman sekelas Bill Gates adalah contoh notable orang-orang introvert yang sukses dalam pekerjaan mereka.

Pada dasarnya, orang introvert juga suka bersosialisasi, namun mereka sudah merasa nyaman jika memiliki 1 atau 2 orang teman dekat karena bagi mereka yang terpenting bukanlah kuantitas teman yang mereka miliki tetapi lebih kepada kualitas atau ‘kedalaman’ hubungan yang mereka bangun. Beda halnya dengan orang ekstrovert, mereka sangat senang bertemu dengan orang-orang baru dan membuat teman sebanyak mungkin karena justru hal inilah yang membuat mereka nyaman.

Dalam dunia kerja, orang introvert lebih cenderung bekerja secara sendiri atau dalam kelompok kecil yang tenang karena bagi mereka cara kerja seperti itu terasa kondusif. Adapun orang ekstrovert, mereka senang bekerja di posisi dimana mereka bisa berinteraksi dengan banyak orang. Tempatkan mereka di lingkungan sepi dan mereka akan merasa pekerjaan itu sangat tidak menyenangkan.

Perbedaan Introvert dan Ekstrovert :
Perbedaan Introvert dan Ekstrovert

Kalau diibaratkan,introvert itu danau yang dalam,sedangkan ekstrovert itu lautan yang dangkal. 
Mungkin dikarenakan orang introvert hanya 25% dari jumlah manusia didunia,banyak kesalahpahaman dan anggapan yang tidak tepat kepada orang-orang introvert.Berikut 10 anggapan kebanyakan orang yang kurang tepat terhadap seorang introvert :

1.Orang Introvert Tidak Suka Bicara
Tidak benar. Mereka tidak mau bicara,kecuali memang ada yang ingin atau harus dibicarakan. Mereka kurang suka berbasa basi. Coba mulai bicarakan sesuatu yang menarik bagi seorang introvert dan dia bisa bicara berjam-jam.

2.Orang Introvert Pemalu
Menjadi seorang introvert tidak harus jadi pemalu. Mereka tidak takut terhadap orang lain,mereka hanya butuh suatu alasan untuk berbicara/berinteraksi dengan orang lain. Kalau kalian mau bicara dengan seorang introvert,bicara saja langsung,tidak usah segan atau basa basi.

3.Introvert Orangnya Kasar
Seperti yang disebut sebelumnya,seorang introvert tidak menganggap perlu suatu basa-basi,dan mereka jarang berbelit-belit dalam berbicara. Introvert lebih suka berbicara jujur dan apa adanya sesuai kenyataan,dan kebanyakan orang tidak suka hal seperti ini,makanya seorang introvert terkadang merasa tidak cocok dengan suatu kelompok atau orang lain.

4.Introvert Tidak Suka Orang Lain
Sebaliknya,mereka sangat menghargai orang yang dianggapnya teman(meski teman yang dimilikinya tidaklah banyak). Mungkin mereka tidak mudah berteman dengan orang lain,tetapi jika agan menjadi teman dari seorang introvert,agan sangat beruntung karena mendapat teman yang setia .Mereka manganggap suatu pertemanan harus seumur hidup.

5.Introvert Tidak Suka Keluar/Ke Tempat Umum
Tidak benar.Seorang introvert hanya tidak suka berlama-lama di ruang publik. Mereka juga cenderung tidak ingin terlibat jika ada permasalahan di tempat umum. Introvert mendapat data dan pengalaman dengan cepat,jadi kalau dia sudah "get it",dia akan langsung pulang kerumah,dan "memproses" data serta pengalaman yang sudah didapatnya diluar sana.

6.Introvert Suka Menyendiri
Orang introvert sangat merasa nyaman dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka suka berpikir,berimajinasi,dan senang memecahkan berbagai masalah dan puzzle. NAMUN mereka akan merasa kesepian jika tidak ada orang lain untuk berbagi pemikiran atau hasil dari pemecahan masalah yang ditemukannya.

7.Introvert Itu Orang Aneh
Orang introvert sebenarnya cenderung individualis. Mereka tidak ikut-ikutan orang lain.Introvert lebih memilih pemikiran,nilai-nilai dan jalan hidup mereka sendiri.Mereka tidak memilih keputusan berdasarkan apa yang populer atau lagi nge-trend. Dengan kata lain seorang introvert itu ANTI MAINSTREAM.

8.Introvert Adalah Orang Yang Dijauhi/Diasingkan
Orang introvert sebenarnya lebih suka bergelut dengan dunia,pemikiran serata batinnya sendiri.Bukan berarti mereka tidak bisa memberi perhatian bagi sekelilingnya,tapi 'dunianya' jauh lebih menyenangkan dan lebih bisa mnghargainya

9.Orang Introvert Tidak Tahu Caranya Bersantai Dan Bersenang-senang
Sebenarnya orang introvert lebih suka bersantai dirumah atau di alam bebas ,bukan ditempat umum yang penuh kebisingan. Jika teralu banyak orang-orang yang mengobrol atau kebisingan,mereka akan menjauh. Otak mereka sensitif terhadap neurotransmitter yang disebut Dopamine.

10.Orang Introvert Harus 'Berubah' dan Menjadi Ekstrovert
Jika saja dunia ini tidak ada orang introvert, akan sangat sedikit jumlah ilmuwan ,musisi, seniman, pujangga, pembuat film, penulis, dan filsuf. Kita tidak bisa memaksa orang introvert mengubah dirinya menjadi ekstrovert. Menurut penelitian,tingkatan ke-introvert seseorang berpengaruh terhadap nilai IQnya

Source: here

Breakfast in the looong holiday

This Monday morning is a right moment for lazy time. Yups, I got an off from my office. Tomorrow is a Happy Eid day and government set all activities to be off today. I do a food experience again and this time with my breakfast.

White bread with chocolate sprinkle and strawberry.

Yummy.. Come to mama please!! ^^

Cheers.

Nita

Jumat, 11 Oktober 2013

Working Outfit with Din Collection, Legging Jeans & Crocs in Bekasi

I knew Selvi, my colleague about seven months ago. She is a sweet girl. This Friday, she is wearing her father's new masterpiece. Selvi told me that her father's inspiration of making this dress comes from Korean Style. She’s paired it with legging jeans and a pair of dark blue Crocs shoes. The ribbon on her dress makes it looks very cute. Din Collection is the name of her father's boutique. The location is on Jalan Cipinang Indah 1 No.47, West Jakarta.



Cheers,

Nita

Selasa, 08 Oktober 2013

Sweet Ice Cream with Strawberry Chocolicious


The idea comes when I watch a japanese drama named "Hungry". That drama shows many tempted and delicious foods. Then I do the experiment to make the ice cream in the drama comes real.


Cheers,

Nita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...