Minggu, 27 Desember 2015

Tulisan Itu Abadi

Sumber gambar dari sini

Sebenarnya aku ragu untuk memposting tulisan berikut ini. Tapi karena kupikir mungkin bisa berguna bagi orang lain yg membaca, jadilah aku publish juga. Tulisan ini aku temukan tidak sengaja saat sedang membongkar dus-dus berisi buku-buku jaman kuliah. Saat memilih yg mana yg ingin kuloak agar tidak membuat penuh kamarku, aku menemukan berkas yg berisi kertas-kertas jaman Persekutuan Doa di kampus dulu. Salah satunya adalah tulisan yg kubuat setelah pulang dari acara retreat kampus. Aku mengikuti retreat ini di tahun 2008, saat tingkat 2. Retreat yg tidak akan aku lupakan, karena membuatku jadi sadar dan mengenal siapa penciptaku. Retreat ini berlangsung selama 3 hari kalau tidak salah, dan dibagi ke dalam beberapa sesi. Sesi ke 2 pada hari pertama mengambil tema “Pemulihan Luka Batin dan Gambar Diri”. Nah inilah yg menjadi sumber insprasi tulisanku saat itu. Aku membaca secarik kertas yg kutemukan tidak sengaja tersebut dan merenungkan hal yg dulu kurasakan. Ya, aku tertegun kembali ke masa lalu.


10 Jan 2008
Kemarin saya baru pulang dari perjalanan retreat yg diadakan oleh kampus saya. Perasaan yg luar biasa dahsyat, saya rasakan karena pemulihanNya yg luar biasa dalam hidup saya. Begitu juga saya rasa dengan peserta lain. Seperti orang yg telah dibebaskan dan dimenangkan dari suatu perkara, begitulah perasaanku. Hati yg baru, yg telah dilepaskan dari segala beban, diganti sukacita dan kekuatan yg baru. Itu karena Ia yg punya kuasa maha dahsyat itu yg melakukannya.

Topeng
Hari pertama saya disana, malam harinya sekitar pukul setengah 8, seorang pembicara yg juga mahasiswa S2 di salah satu universitas di Jakarta bernama Kak Budiman, mengatakan hal yg menempeleng hati saya. Kita sering kali memakai bahkan menggonta-ganti topeng sesuai keadaan dan selera, jati diri kita seperti memakai topeng. Begitulah keadaannya. Semuanya dilakukan agar bisa diakui dan dipercayai oleh orang lain. Kita menjadi seperti apa yg mereka katakan.

Kertas
Hati kita itu diibaratkannya seperti secarik kertas. Ia menceritakan pengalamannya saat masih kecil. Ketika ada kata-kata yg meluncur dari mulut orang lain, seperti “Bego amat lu..” yg disampaikan kepadanya (sorry,mungkin mulutnya yg ini perlu disekolahin dulu kali ya) dan ia terima, maka ia analogikan dengan mulai merobek kertas itu menjadi dua. Lalu “Gitu aja gak bisa..” dan ia lanjut merobek kertas itu. Terus kata-kata yg menghancurkan hati ia dengar dan itu semua menumpuk dan makin menumpuk dalam hatinya. Sampai kamu tau apa yg terjadi? Kertas yg semula utuh berubah menjadi robekan kecil-kecil dan HANCUR. Kamu bisa membayangkan bagaimana keadaan hati itu sekarang. Gimana mau balikinnya lagi jadi selembar kertas yg utuh.

Jati diri
Kita memiliki jati diri buatan karena kita tidak kenal siapa pencipta kita. Ketika kita mengenal Dia lebih dalam dari semua yg kita kenal, kita menjadi sadar bahwa hidup kita itu berharga sekali di mataNya. Ketika ada orang berkata A tentang diri kita, maka topeng itu kita pakai. Itu karena kita menghakimi diri kita sendiri. Tapi jikapun kata-kata yg keluar itu positif, belum tentu juga akan membuat kita jadi lebih baik. Stigma yg melekat itu juga bisa membuat kita melayang. Contoh bila kita dikenal sebagai orang yg pintar, maka topeng yg akan kita pakai adalah “Wah, saya ini pintar ya..” Dan ketika kita menghadapi ujian, kita jadi menganggap enteng dan berpikir “Ah, tidak usah belajar juga sudah bisa.” Dan pikiran itulah yg akan menjatuhkan kita.

Masa Lalu
Pengalaman masa lalu termasuk juga yg bukan dialami sendiri, akan membuat kita memakai topeng. Ketika kita ingin maju menjawab pertanyaan atau bertanya tentang materi kepada pengajar, kita langsung memakai topeng “Takut Tertolak” karena kita dulu pernah punya pengalaman yg pahit tentang hal tsb. Atau ketika kita disuruh menyanyi, kita memakai topeng “Gak bisa” karena di masa lalunya ketika ada temannya yg menyanyi, ia melihat temannya itu dihina. 

Gambar diri kita harus dipulihkan dengan cara kita harus melepas topeng itu dari wajah kita. Dengan kita semakin mengenal siapa pencipta kita, maka kita akan makin mengenal jati diri kita yg sesungguhnya dan menjadi orang yg tidak memakai topeng lagi.


Love,

Repost: SECANGKIR KOPI SEBAGAI PENGINGAT

Nama Denny Siregar menjadi nyaring di dunia maya lewat tulisannya di media sosial pesbuk. Saya pun mendengarnya baru-baru ini lewat teman kantor yg bercerita bahwa ia suka membaca dan update berita lewat tulisannya di fb. Gaya bahasanya yg tidak mengawang-awang khas politik, membuat tulisannya digemari oleh masyarakat awam. Saya pun jadi melirik blognya yg berisi kumpulan tulisan-tulisannya di fb. Saya tertarik akan sudut pandangnya dalam menggambarkan suatu masalah atau hal yg sedang terjadi. Membaca tulisannya yg berisi tentang fiosofi kehidupan yg kerap dihubungkan dengan kegemarannya akan secangkir kopi, membuat saya akhirnya kembali bersemangat menulis. Saya pun ingin membagikan salah satu tulisannya yg berikut ini. Semoga bermanfaat!

15 Desember 2015,
DENNYSIREGAR.COM – Sekali-sekali duduklah kita sejenak dan diamlah. Minumlah secangkir kopi jika suka…
Bayangkan masa kecil, masa dimana kita adalah mahluk yang sangat lemah. Saking lemahnya, kita bahkan tidak mampu berbuat apa2. Begitu tergantungnya kita pada orang tua kita.
Pernahkah kita tidak percaya kepada mereka? Mereka lempar kita keatas, kita tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak ada, kita menangis kehilangan. Mereka mengajak kita kemanapun, kita ikut dengan sukacita.
Itulah kepercayaan.
Kepercayaan ada saat kita menyerahkan semuanya kepada penjaga kita. Tanpa penentangan, tanpa kesombongan sebagai seorang yang punya banyak rencana. Kita benar-benar pasrah, memasrahkan apapun yang terjadi pada kita. Kenapa bisa begitu? Karena kita ber-prasangka baik kepada mereka.
Dan perhatikan saat kita menangis karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Mereka mengarahkan kita, memalingkan kita dari sesuatu yang buruk yang nanti akan menimpa kita, mereka paham apa yang terbaik bagi kita. Kita yang tidak paham karena kita hanya fokus pada apa keinginan kita.
Dan lihatlah kita sekarang dan hubungan kita dengan Tuhan.
Apa yang terjadi pada kita ? Semakin kita merasa mampu mandiri, semakin kita sombong. Semakin kita merasa bahwa kita mampu segalanya. Kita merasa punya banyak rencana dan semua rencana kita adalah yang terbaik bagi kita. Padahal kita tidak sadar, bahwa semua itu hanya nafsu kita saja.
Disaat rencana kita dipatahkan dan hidup kita dijatuhkan, kita menangis. Persis seperti saat kita kecil dan tidak mendapat apa yang kita inginkan. Semakin sombong kita, semakin kita tidak percaya bahwa kita diberikan jalan yang terbaik. Kita tidak lagi percaya pada kuasa-Nya, meski lidah berkata “Tuhan…” seperti dulu saat kita memanggil, “Papa..” tetapi hati kecil kita menentang.
Ah, manusia…. Semakin tinggi ia berada, semakin jauh ia dengan keimanan-nya. Padahal dalam setiap ujian, Tuhan ingin kita mendekat kepadaNya supaya kita tidak lupa siapa kita sebenarnya. Kita sebenarnya hanyalah seorang anak kecil, tapi besar kepala….
Sumber dari sini

Love,

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...