Minggu, 09 Agustus 2015

Tebing Keraton, The Enchanted Cliff from Bandung

25 Juli 2015, aku dan Mba As bertualang menuju kota kembang, Bandung. Kami naik kereta yang sudah dipesan sebulan sebelumnya. Kebetulan lagi ada promo harga untuk kereta eksekutif. PP hanya menghabiskan dana kurang dari 100 ribu. Aku pun sudah memesan kamar di hotel Bukit Dago lewat situs traveloka tiga minggu sebelumnya. Tarif kamar per malam disana 230 ribu, itu sudah termasuk sarapan. Cukup murah mengingat letak hotelnya yg strategis di pinggir jalan raya. Jadi tidak sulit untuk mencari lokasinya nanti. Kami menginap hanya semalam disana, karena kami ingin mengejar sunrise keesokan paginya.

Kami berangkat dari stasiun Gambir pukul 10.15 pagi. Di tengah perjalanan, kami diberi informasi bahwa kita akan melewati jembatan yg menghubungkan kota Jakarta dan Bandung. Pemandangan di sisi jurang tersebut akan menghasilkan jepretan yg indah bagi para fotografer. Setelah itu kami juga melewati terowongan kuno yg lumayan panjang, hampir 1 kilometer. Suasana langsung berubah seperti malam hari seketika itu juga. Oya, menjelang akhir perjalanan, Mba As juga sempat tidur. Sementara aku asik membaca referensi mengenai destinasi kami.

Selfie dulu di kereta dalam perjalanan menuju Bandung

Asyik membaca referensi dari blog.
Thanks to pergidulu.com, satyawinnie.com, thetravelearn.com

Dan akhirnya kami tiba di kota Bandung pukul setengah 3 sore. Kami makan siang di kedai bakso yg terletak tidak jauh dari stasiun. Kayanya yg dagang bukan orang asli Bandung, karena pas diajak ngomong sundaan sama mba As, malah jawabnya pake bahasa Indonesia. Oh ya, selama perjalanan ini aku merasa amat tertolong oleh partnerku, mba Asni. Karena berkat keahliannya ngomong sunda, jadi banyak membantu kami dalam perjalanan ini. Menanyakan tempat, transportasi dan lain-lain jadi lebih mudah. Aku pun jadi ikut melihat gimana cara masyarakat disana berkomunikasi. Mereka rata-rata sangat ramah dan sopan. Ketika turun dari angkot, tidak lupa mengucapkan “nuhun ya a..” Aku pun jadi ikutan berbicara dan belajar bahasa sunda dikit-dikit dari mba As. Paling gak, jadi tau kalo mau bilang makasih, permisi, dan ketika ingin menolak sesuatu. Disana juga aku sempat nanya rute angkot yg mengarah ke Braga. Abangnya jujur bilang kalau habis naik angkotnya mesti nyambung jalan kaki dikit. Terus pas aku bertanya gimana biar bisa langsung sampai ke tempatnya, abangnya langsung ngasih tau kita rute angkot yg benar. Pokoknya seneng dan selalu ingin kembali ke Bandung untuk merasakan atmosfirnya yg bersahabat.

Di dalam perjalanan kami menuju hotel Bukit Dago, kami juga gak ditipu masalah ongkos. Karena perjalanan yg lumayan jauh dari stasiun menuju hotel, kita pikir ongkosnya bakal mahal. Tapi ternyata abangnya jujur ngasih kembaliannya. Udah sampe di hotel, kami segera check-in. Aku menyerahkan kertas prinan booking hotel ke petugas. Lalu kami diminta menitip deposit sebesar 100 ribu yg akan dikembalikan saat kami check out besok. Setelah itu, kami pun diberikan kartu akses untuk masuk ke kamar. Kami mendapat kamar standard no 317. Saat itu kulihat banyak juga segerombol anak muda yg sedang menginap disana. Mungkin mereka juga sedang liburan di Bandung.

Ketika masuk ke kamar, aku sangat senang dengan ruangannya. Tidak terlalu besar, tapi rapi dan bersih. Aku melongok ke kamar mandi dan ternyata kamar mandinya bersih. Ada air hangat pula, jadi gak usah takut kedinginan pas mandi. Kami juga mendapat handuk, sikat gigi dan sabun mandi. Juga telah disediakan air mineral di meja. Ada tv kabel juga disana, jadi lumayan bisa nonton mtv, program Jepang, sampai arirang. Arirang itu channel broadcastnya Korea yg international. MV boyband korea “BTS” yg aku lagi demen banget juga kebetulan diputar di mtv. Pokoknya istirahat di hotel setelah perjalanan yg lumayan panjang, ditemani mtv dan kasur yg nyaman itu rasanya sesuatu banget lah. Di sekeliling dinding kamar dipasang kaca. Di belakang, samping kiri, depan juga pada dipasang cermin. AC kamar sama sekali gak kami nyalain, secara udah dingin juga hawanya. Paling kekurangannya ialah disana gak disediain termos pemanas air, yg kaya biasa ada di hotel-hotel. Yah, namanya juga pesen room yg standard, jadi gak ada. Mungkin kalo pesen yg lebih mahal ratenya, ada kali yak. Kan lumayan kalo ada, bisa buat nyeduh teh atau buat masak air. Dan sebagai masukan lainnya, di kamar mandinya juga sebaiknya dipasang cantelan baju. Soale kemarin aku liat gak ada. Jadi agak repot mau gantung bajunya pas mandi.

Kamar standard di hotel Bukit Dago, Bandung
230K per night include breakfast


Setelah leyeh-leyeh sebentar, kami langsung mandi dan siap-siap untuk ngebolang sore itu. Kami akan mengunjungi alun-alun Bandung. Alun-alun itu bersebelahan dengan masjid raya Bandung yg gede banget. Alun-alun Bandung di desain sangat unik, karena bentuknya menyerupai lapangan sepak bola. Jadi rumput sintetiknya belang-belang, hijau muda-hijau tua gitu. Kami naik angkot dago-kalapa untuk menuju kesana. Di sepanjang perjalanan, mata kami mengamati keramaian Bandung kala sabtu sore itu. Banyak banget gerai makanan, jadi gak perlu takut kelaperan kalo dah di Bandung. Kami sampai di tempat perberhentian terakhir angkotnya di jalan Dewi Sartika. Kemudian tinggal jalan kaki sedikit menuju ke arah mesjid raya. Manusia sudah tumpah ruah memadati alun-alun Bandung. Oya, sepatu atau sandal juga mesti dilepas ketika akan masuk ke alun-alun agar kebersihan tetap terjaga. Jadi kita tenteng ajah sendal kita. Kami menyelip masuk ke dalam kerumunan sampai akhirnya dapet spot yg enak buat foto-foto dengan background mesjid raya. Abis asik selfian, suara azan magrib pun terdengar. Mba As segera beranjak menuju masjid untuk menunaikan sholat. Aku menunggu di depan pelataran mesjid sambil dengerin mp3 di handphone.

Masjid raya Bandung yang terletak di area alun-alun

Alun-alun yang ramai dipenuhi pengunjung sore itu

Makin sore makin rame

Selfie in Bandung

Happy time 


Dengerin musik sambil nunggu mba As selesai sholat

Setelah mba As selesai sholat, kami pun langsung meluncur ke sekitaran jalan Dewi Sartika untuk mengisi perut. Kami putuskan makan di warung nasi padang Ampera. Warung padang nya saat itu lumayan ramai pengunjung. Setelah kenyang, kita sedikit window shopping di Mall Grand Yogya yg ada di situ. Jalan Dewi Sartika bener-bener rame sama masyarakat yg lagi keliling-keliling disana. Apalagi ini kan malam minggu. Sambil jalan ke tempat ngetem angkot, kami melihat aneka barang dagangan dijajakan di sepanjang jalan. Alhasil aku pun pulang membawa celana pendek pantai berwarna pink. Mba As pun membeli oleh-oleh untuk adiknya.

Setelah puas belanja, sekitar pukul 8 malam, kami pun segera naik angkot untuk pulang kembali menuju hotel. Di perjalanan, mba As ngobrol sama mamang angkotnya, tentunya dalam bahasa sunda. Aku pun roaming jadinya karena gak ngerti apa yg lagi mereka bahas. Cuma berandai coba aja ada subtitle di bawahnya, hahaha..

Sebelum menuju hotel, kami mampir di indomart yg terletak tidak jauh dari hotel. Kami belanja air minum dan camilan untuk besok hari. Kami pun membeli ayam goreng untuk bekal sarapan besok subuh sebelum berangkat menuju tebing keraton.

Esoknya alarm di handphone membangunkanku. Jam 3 pagi aku bangun. Mba As kubangunkan sekitar pukul 4. Kami pun sarapan dan bersiap-siap. Sekitar jam 5 pagi, kami pun berangkat menuju tebing. Kami kesana naik taksi yang berada tidak jauh dari hotel. Setelah nego harga, taksi kami pun langsung meluncur menuju gerbang Tahura Juanda. Perjalanan hanya menempuh waktu kurang lebih 10 menit. Kami tiba dan saat itu masih gelap. Jarang juga orang yg lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di warung sambil memikirkan cara untuk naik ke atas. Kemudian mba As berbincang-bincang dengan bapak pemilik warung dalam dialek Sundanya mengenai ongkos ojek kesana. Setelah dilakukan nego, bapak pemilik warung yg juga ternyata merangkap sbg tukang ojek, mengatakan bahwa kita bisa naik ke atas dgn membayar 75 ribu seorangnya. Kalau berdua satu motor hanya dipungut 100 ribu, itu sudah pp dan ditunggu di atas. Kami pikir kalau kami jalan kaki juga gak akan ngejer waktunya kalo mau liat sunrise. Jauh juga jaraknya. Keburu pingsan di jalan. Jadi daripada buang waktu, akhirnya jadilah kita 3 in 1 an pagi itu. Udara benar-benar dingin. Angin yg berhembus ketika ojek kami meluncur benar-benar menusuk kulitku. Jalanannya juga menanjak curam dan berbatu. Medannya sulit sekali. Tapi bapak ojek itu sudah terlatih jadi bisa mengendalikan motornya dengan baik. Ketika hampir tiba di tebing, berkas sinar matahari mulai terlihat, dan pemandangan yg kulihat dari motor saat itu benar-benar membuatku terkesan. Keren banget. Gunung yg diselimuti kabut tebal begitu cantik.

Perjalanan ke atas memakan waktu sekitar 25 menit. Kami pun tiba di tebing keraton sekitar pukul 6 kurang 10 menit. Setelah membayar tiket masuk sebesar 11 ribu, kami pun menelusuri jalan setapak yg mengarahkan kita ke ujung tebing. Dan ternyata di atas sudah ramai sekali dengan manusia. Kami pun segera mencari spot foto di area yg tidak begitu ramai. Setelah itu kami coba menyelinap ke dalam kerumunan orang di ujung tebing. Setelah mengantri akhirnya dapet juga kesempatan untuk foto di ujung tebing yg dibatasi pagar. Kami berfoto walaupun hanya sebentar saja. Karena di belakang kami sudah mengantri orang-orang yg ingin segera berfoto juga. Huah.. Ga puas euy fotonya. Oya, banyak banget orang yg memanjat melewati pagar pembatas untuk menuju batu di tebing yg paling ujung. Memang ada seutas tali tambang yg akan membantu kita naik turun. Tapi perlu nyali ekstra untuk berani berfoto di ujung tebing yang ga ada pembatasnya itu. Meleng dikit bisa kepeleset dan nyawa pun melayang. Apalagi banyak banget yg turun ke sana, mereka hanya berpegangan pada batu-batu yg ada. Pokoknya mesti ati-ati bangetlah kalo mau extreme selfie disitu.

Pas nyampe udah rame ajah

Great panorama from Tebing Keraton
Kata "karaton" diambil dari bahasa Sunda, artinya keindahan

Suka banget sama viewnya
















Foto jalan setapak yg diambil dalam perjalanan kembali ke gerbang

Selesai foto, kita pun langsung pulang. Ga begitu lama waktu kita habiskan di tebing, karena crowded juga. Apalagi makin siang pasti makin sumpek. Sekitar pukul 6 seprapat, kami pun segera kembali ke gerbang tebing keraton. Disitu mamang ojek kami sudah menunggu. Oya, di dalam tebing tadi si mamang sempet fotoin kita juga lho. Jalanan ketika pulang benar-benar menurun curam dan berbatu-batu. Hal ini membuat aku sangat tidak nyaman di sepanjang perjalanan itu. Tapi akhirnya, kita sampai juga di bawah dengan selamat. Lalu kami jalan kaki dari gerbang tahura menuju jalan raya. Perjalanan kami tempuh sekitar 15 menit. Kami berjalan turun dengan santai melewati sederatan villa dan rumah-rumah mewah. Kami juga melihat banyak bikers yang berusaha mengayuh sepedanya di jalan yg menanjak itu. Dari anak-anak sampai orang yg sudah lanjut usia, mereka semua berolahraga sepeda di minggu pagi itu. Kegiatan yg sangat positif untuk dilakukan. Setibanya di jalan raya, kami menyambung angkot menuju hotel.

Sesampainya di hotel sekitar pukul 8 pagi, kami pun segera menuju resepsionis untuk menanyakan tentang sarapan kami. Sarapan pagi pun ternyata sudah tersedia. Kami hanya perlu membawa kupon yg kami minta dari petugas resepsionis. Pilihan sarapannya ada beberapa macam, dari mulai nasi goreng, mie goreng, bubur ayam dan roti bakar. Minumnya pun bisa pilih dari teh, kopi, atau kopi susu. Kami pilih sarapan dengan nasi goreng dan teh hangat. Kami segera menuju ruang restorasi untuk sarapan. Disana terpampang jadwal untuk sarapan dilayani dari pukul 7 hingga 10 pagi. Kami menukarkan kupon kami ke petugas, dan tidak beberapa lama kemudian makanan kami pun datang.

Tidak terasa kami udah sarapan dua kali pagi ini. Hehehe.. Selesai sarapan kami pun segera kembali ke kamar untuk leyeh-leyeh dan istirahat. Setelah itu kami mandi dan siap-siap packing untuk pulang. Kami check out sekitar pukul setengah 11 pagi. Tidak lupa menukarkan uang deposit yg aku titipkan di awal kedatangan. Setelah itu kami segera berangkat menuju Braga yg letaknya dekat dengan stasiun Hall Bandung. Kami berjalan berkeliling di sepanjang jalan Braga minggu pagi itu. Saat itu masih banyak toko yg tutup. Tapi jangan ditanya kalau semalam, pasti ramai sekali jalanan disini. Banyak tempat duduk disediakan di sepanjang jalan yg kental dengan nuansa bangunan Eropa itu.

Jalan Braga di Bandung

Awalnya kami menuju kafe bernama Sugar Rush yg terletak di sebelah Braga City Walk. Soalnya kata temanku, di sana cake red velvetnya enak, Tapi sayangnya tokonya masih belum buka. Akhirnya kami jalan lurus lagi saja menuju ujung jalan untuk menemukan tempat makan yg oke. Soale aku kepengen nyobain mie kocok. Tapi sampai di ujung ternyata ga nemu. Akhirnya kita memutuskan untuk putar balik, kembali menuju mall Braga City Walk untuk ngadem. Dan pas balik tenyata Suga Rushnya sudah buka. Yey, akhirnya aku beli Red Velvet seharga 30k untuk dibungkus pulang. Memang diantara kue lain, si red velvet ini yg tersisa paling sedikit, tinggal beberapa potong saja. Mungkin saking lakunya ya.

Kafe Suga Rush yang terletak di sebelah Braga City Walk

Red Velvet 30K by Suga Rush

Kami pun kemudian menuju Braga City Walk. Di dalamnya, terdapat restoran bernama The Kiosk yg menjual aneka makanan. Termasuk juga si mi kocok Bandung. Akhirnya kita putuskan makan siang disana. Kami disuruh duduk dulu sambil menunggu mereka menyiapkan bahan-bahan masakan. Memang mereka masih awal buka ketika kami datang, jadi kami sempat menunggu lama sekali sampai ada pelayan yg menghampiri kami. Sembari menunggu, aku mencicipi red velvetnya, dan enyakkk kawan… Setelah penantian yg lumayan panjang, akhirnya pelayan restorannya mendatangi meja kami. Aku memesan mi kocok polos yg berisi mie dan toge. Mba As memesan nasi bakar dan ayam goreng. Kami harus menunggu beberapa saat lagi, sampai pesanan kami tiba. Mie kocoknya rasanya agak plain karena isinya emang cuma mie yg bentuknya gepeng, dan toge. Di menu mie kocok yg standard sebenernya sih ada kikilnya, tapi aku ga pesen itu karena emang ga bisa makan kikil. Makan siang diakhiri dengan pesanan siomay mba As. Perutku kembung kebanyakan minum air karena makan sambel. Emang aku gak kuat pedes tapi nekat coba-coba. 

The Kiosk at Braga City Walk
Restoran yang di desain seperti berada di dalam hutan

Mie kocok polos by the Kiosk

Kemudian kami pulang naik becak menuju stasiun Hall. Selesailah perjalananku di Bandung kali ini bersama Mba As. Bandung memang selalu membawa cerita dan membuatku ingin pergi lagi kesana. Di bawah ini adalah video buatanku yang menampilkan keindahan tebing keraton di Dago, Bandung. Aku memang baru belajar membuat video, jadi masih amatiran. Please watch and enjoy, guys!





LoVe,

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...